https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/issue/feedJurnal Mitra Pembangunan Hukum2024-10-14T00:00:00+00:00Muhammad Febrianfebriansudiprasetya@gmail.comOpen Journal Systemshttps://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7605TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI PT KALLISTA ALAM DALAM PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) YANG BERAKIBAT SEBAGAI TINDAK PIDANA KORPORASI (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEULABOH NOMOR 131/PID.B/2013/PN.MBO)2024-10-09T03:19:17+00:00Anita NadhilaAnitaNadhila@univ.pancasila.ac.id<p>Dalam rangka mengamankan aset dan menyehatkan pengelolaan perusahaan, penerapan Good Corporate Governance (GCG) dalam suatu perusahaan merupakan upaya yang bertujuan untuk peningkatan dan pengembangan nilai perusahaan, pengelolaan sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien, peningkatan disiplin, dan tanggung jawab organ perseroan, serta meningkatkan kontribusi perusahaan bagi perekonomian nasional. Direksi merupakan organ yang memegang peranan penting dalam menentukan kemajuan suatu perusahaan. Secara yuridis, pentingnya kedudukan direksi tergambar dari tugas dan tanggung jawab yang melekat padanya, sebagaiman dirumuskan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Berbagai kajian menunjukkan bahwa tidak semua direksi perusahaan menyadari akan tugas dan tanggung jawab tersebut, seperti adanya pembakaran lahan untuk keuntungan perusahaan. Dalam kasus PT Kallista Alam, pembakaran lahan yang disetujui oleh direksi tidak memperhatikan Good Corporate Governance (GCG).</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7606PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DALAM PROSES INITIAL PUBLIC OFFERING (IPO) MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS Jo UNDANG-UNDANG PASAR MODAL2024-10-09T03:47:54+00:00Haryogis SusantoHaryogisSusanto@univ.pancasila.ac.id<p>Initial Publik Offering (IPO) merupakan kegiatan penawaran saham perdana perusahaan ke publik atau masyarakat melalui pasar perdana, IPO merupakan salah satu alternatif sumber pendanaan melalui peningkatan ekuitas perusahaandengan cara menawarkan saham kepada masyarakat. Undangundang No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal mendefinisikan penawaran umum sebagai kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksananya, untuk itu diperlukan sistem yang mampu menjamin kepentingan pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam proses IPO, prinsip Good Corporate Governance (GCG) merupakan sistem yang dianggap mampu menjamin kepentingan masing-masing pihak tersebut, prinsip-prinsip yang diatur dalam GCG antara lain terkait Transparancy, Accauntability, responsibility, Independency, dan fairness. Sebagai penelitian normatif, ada dua konsep teori yang digunakan berhubungan dengan isu hukum yang akan diteliti,teoritersebut digunakan sebagai landasan dalam hal memecahkan permasalahan yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini, teori<br>tersebut antara lain Teori Efektivitas Hukum da Perlindungan Hukum. Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat di ketahui bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip GCG telah diatur dalam proses IPO akan tetapi belum diatur dengan jelas hanya tersirat dalam setiap tahapan-tahapan IPO sehingga berpotensi terjadi kekeliruan dalam penerapannya.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7607PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) PADA BADAN USAHA MILIK DAERAH (STUDI KASUS PT BANK DKI TERHADAP PENYALURAN KREDIT KEPADA PT LIKOTAMA HARUM)2024-10-09T03:59:11+00:00Siska OctavianiSiskaOctaviani@univ.pancasila.ac.id<p>Corporate Social Responsibility (CSR) muncul sebagai tanggung jawab social perusahaan terhadap segala tindakan yang mempengaruhi masyarakat dan lingkungan. Secara global CSR adalah suatu komitmen perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk<br>saat ini maupun untuk jangka panjang. Salah satu perusahaan yang melaksanakan CSR adalah Hotel Sari Pan Pacific sebagai hotel berbintang di Jakarta yang memiliki jiwa social terhadap masyarakat di lingkungannya. Oleh karena itu tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui penerapan CSR Hotel Sari Pan Pacific dalam upaya peningkatan kesadaran berlalu lintas di DKI Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian bersifat yuridis normative dan yuridis empiris. Hukum normative berupa penelitian inventarisi hokum positif dan kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang telah terkumpul akan diolah dengan menggunkan teori Kontrak Sosial, Triple Bottom Line, Efektifitas Hukum dan dianalisis secara deduksi dengan menarik kesimpulan dari menarik suatu permasalahan yang bersifat umum menuju pernyataan khusus dari permasalahan atau objek yang diteliti yaitu Hotel Sari Pan Pacific secara khusus tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terutama pasal 74 yaitu berkaitan dengan kewajiban pelaksanaan CSR. Hasil penelitian penulis menunjukan bahwa penerapan CSR pada Hotel Sari Pan Pacific bersifat sukarela (voluntary). Alasanya adalah bahwa tujuan dari sebuah perusahaan adalah mencari keuntungan (profit), CSR merupakan kewajiban moral dalam etika bisnis.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7608PENERAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) HOTEL SARI PAN PASIFIC DALAM UPAYA PENINGKATAN KESADARAN BERLALU LINTAS DI DKI JAKARTA2024-10-09T04:05:43+00:00Danu Mega WinantoDanuMegaWinanto@univ.pancasila.ac.id<p>Corporate Social Responsibility (CSR) muncul sebagai tanggung jawab social perusahaan terhadap segala tindakan yang mempengaruhi masyarakat dan lingkungan. Secara global CSR adalah suatu komitmen perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk<br>saat ini maupun untuk jangka panjang. Salah satu perusahaan yang melaksanakan CSR adalah Hotel Sari Pan Pacific sebagai hotel berbintang di Jakarta yang memiliki jiwa social terhadap masyarakat di lingkungannya. Oleh karena itu tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui penerapan CSR Hotel Sari Pan Pacific dalam upaya peningkatan kesadaran berlalu lintas di DKI Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian bersifat yuridis normative dan yuridis empiris. Hukum normative berupa penelitian inventarisi hokum positif dan kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang telah terkumpul akan diolah dengan menggunkan teori Kontrak Sosial, Triple Bottom Line, Efektifitas<br>Hukum dan dianalisis secara deduksi dengan menarik kesimpulan dari menarik suatu permasalahan yang bersifat umum menuju pernyataan khusus dari permasalahan atau objek yang diteliti yaitu Hotel Sari Pan Pacific secara khusus tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terutama pasal 74 yaitu berkaitan dengan kewajiban pelaksanaan CSR. Hasil penelitian penulis menunjukan bahwa penerapan CSR pada Hotel Sari Pan Pacific bersifat sukarela (voluntary). Alasanya adalah bahwa tujuan dari sebuah perusahaan adalah mencari keuntungan (profit), CSR merupakan kewajiban moral dalam etika bisnis.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7609HUBUNGAN ANTARA CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DENGAN KESEJAHTERAAN BURUH DAN UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR) DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA2024-10-09T04:17:06+00:00NurasiahNurasiah@univ.pancasila.ac.id<p>Latar belakang tulisan ini adalah masih belum efektifnya implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) di berbagai perusahaan. Tulisan ini mengkaji tentang berbagai masalah dalam implementasi CSR. Metodologi yang digunakan adalah studi kepustakaan. CSR yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak (di dalam maupun di luar perusahaan) untuk berkontribusi dalam ekonomi berkelanjutan. Dalam hal ini pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraan buruh merupakan bagian dari komitmen tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsep CSR memang bagus, namun sayangnya hingga saat ini masih banyak perusahaan yang belum melaksanakannya dengan baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi terkait pelaksanaan Program CSR agar program tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan dapat memberdayakan masyarakat dan dapat memberikan kesejahteraan bagi buruh yang didasarkan pada kebutuhan ril yang secara dialogis dikomunikasikan dengan masyarakat, pemerintah, perusahaan, masyarakat dan akademisi. Selain itu, dalam Pasal 74 UU PT jo. PP 47 Tahun 2012 diatur mengenai kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial CSR bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber<br>daya alam. Adanya UU Perseroan Terbatas dan PP yang mengatur tentang tanggungjawab sosial ini tidak akan berhasil apabila tidak adanya sanksi hukum. Mengingat dalam kedua aturan tersebut tidak diatur mengenai sanksi atas tidak dilaksanakannya CSR tersebut yang akan berimbas pada banyaknya perusahaan yang akan mengabaikan ketentuan CSR ini apabila tidak ada aturan yang memaksanya.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7610TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP MASYARAKAT DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM2024-10-09T04:27:55+00:00Andromeda Hayu KurniawanAndromedaHayuKurniawan@univ.pancasila.ac.id<p>Peraturan PerUndang-Undangan dilahirkan demi memberikan keamanan dan kepastian hukum pada suatu negara, dimana negara berserta aparaturnya saling memberikan kerjasama demi membangun struktur kenegaraan yang baik. Negara juga melibatkan pihak ketiga guna membantu pembangunan dan perkembangan wilayah. Dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terutama Pasal 74 tertulis tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR, dimana fungsi negara dalam hal ini adalah pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha saling terikat, pemerintah telah membuat Undang-Undang agar dapat memberikan rasa aman dan kenyamanan di wilayah negara tersebut, tetapi akan timbul permasalahan ketika Undang-Undang tersebut tidak dapat memberikan rasa aman dan kenyamanan, maka Undang-Undang tersebut tidak dapat berjalan dengan semestinya, dimana Undang-Undang yang semestinya dapat memberikan kepastian hukum, dan ketegasan agar hukum tersebut memberikan efek jera kepada para pihak yang melanggar. CSR sebagai kasus sosial dimasyarakat bisa sebagai salah satu contoh kecil yang dapat memberikan dampak besar baik dari<br>segi positif maupun negatif, pada pasal 74 di Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mewajibkan setiap pelaku usaha didalam menjalankan tanggung jawab sosial tetapi di dalam Undang-Undang tersebut tidak memberikan kejelasan sanksi bagi pelanggar Undang-Undang tersebut, hal tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi banyak masyarakat dan dampak sangat positif bagi pelaku usaha sehingga terjadi ketidakadilan dalam tata ruang hukum itu sendiri, akan terjadi konflik antara keadilan dan kepentingan, kendala-kendala dan benturan antar hukum dapat terjadi, maka dari itu pemerintah harus dapat memberikan fasilitas hukum yang kuat dan dapat memberikan keadilan<br>di wilayah kenegaraannya, mengingat masih banyak pelaku usaha yang belum atau tidak menjalankan program CSR(tanggung jawab sosial) dengan menggunakan berbagai alasan guna menghindari tanggung jawab sosial yang sudah diberlakukan oleh pemerintah.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7611ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS (STUDI KASUS PT. INFRAKO DAYAMITRA)2024-10-09T04:31:56+00:00Vera FebrianaVeraFebriana@univ.pancasila.ac.id<p>Salah satu bentuk tanggungjawab perusahaan terhadap masyarakat adalah melaksanakan tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan atau yang dikenal dengan istilah “Corporate Social Responsibility (CSR)”. Pelaksanaan CSR di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan Corporate Social Responsibility berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 74 di PT. Infrako Dayamitra Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang : 1) perkembangan konsep Corporate Social Responsibility dalam perkembangan ilmu hukum. 2) pelaksanaan Corporate Social<br>Responsibility di Indonesia sesuai Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 3) Implementasi Corporate Social Responsibility di PT. Infrako Dayamitra. Penulisan ini menggunakan Teori Utilitas yang menyatakan bahwa sesuatu dianggap baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan hanya satu dua orang melainkan masyarakat keseluruhan, teori ini didukung oleh konsep teori stakeholder. Kemudian metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan dan studi dokumenter serta wawancara dan kuesioner sebagai data pendukung. Data yang terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif dan disusun secara sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pelaksanaan Corporate Social Responsibility yang diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74 belum sepenuhnya diterapkan dengan baik oleh PT. Infrako Dayamitra. Dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa pelaksanaan CSR yang dilaksanakan oleh PT. Infrako Dayamitra kepada masyarakat yang meliputi bakti sosial, bantuan kelembaga pendidikan dan perbaikan jalan belum tepat sasaran dan tidak memprioritaskan lingkungan masyarakat sekitar perusahaan. Adapun kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan belum begitu optimal dan masih bersifat insidentil sehingga harus dikembangkan agar tepat sasaran pada kebutuhan masyarakat</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7612KEADILAN & PEMBANGUNAN STUDI KASUS: REKLAMASI TELUK JAKARTA2024-10-09T04:42:47+00:00Abilio Jose Valentino Cesar Fernandes da SilvaAbilioJoseValentinoCesarFernandesdaSilva@univ.pancasila.ac.id<p>Reklamasi pantai dewasa ini menjadi salah satu strategi pembangunan di Ibukota Jakarta. Reklamasi menjadi pilihan perluasan dan pengembangan wilayah Ibukota guna mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi di masa depan seperti urbanisasi, peningkatan pendapatan asli daerah, serta zonasi/pengaturan wilayah pemukiman, perkantoran dan industri/perdagangan. Semua kegiatan pembangunan fisik, termasuk reklamasi pantai, harus memperhatikan dan mempertimbangkan tiga aspek yang saling terkait satu sama lain. Ketiga aspek yang saling terkait itu adalah aspek sosiologis, aspek ekologis, dan aspek ekonomis. Aspek sosiologis menyangkut kelangsungan hidup masyarakat yang terkena dampak reklamasi. Aspek ekologis menyangkut kelestarian lingkungan hidup, dalam hal ini ekosistem pantai, tempat dilakukannya reklamasi. Aspek ekonomis menyangkut nilai tambah yang dapat dihasilkan oleh kegiatan dan hasil reklamasi. Dengan mengacu pada hal-hal itu, maka reklamasi pantai harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan dan penegakan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar akan memberikan kepastian hukum.Kepastian hukum sendiri hanya dapat terwujud bila pembentukan dan penerapan peraturan perundang-undangan harmonis satu sama lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan peraturan perundang-undangan yang<br>harmonis maka Pemerintah dapat dan mampu mengatasi, menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang ada dalam masyarakat, baik itu yang berupa kekhawatiran maupun dampak-dampak lain yang timbul dari kegiatan reklamasi. Dengan mengacu dan berpijak pada peraturan perundang-undangan Pemerintah semestinya mampu mengatur sedemikian rupa sehingga reklamasi, yang pada hakikatnya memiliki tujuan baik seperti kegiatan pembangunan pada umumnya, tidak membuat ada yang merasa dikorbankan, walau hanya sekelompok kecil masyarakat. Dengan demikian keadilan bagi tiap-tiap elemen masyarakat bisa tercapai dan terwujud.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7613PENGATURAN DAN PENEGAKKAN SANKSI ADMINISTRASI DAN PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENCEMARKAN LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (UUPPLH)2024-10-09T04:46:38+00:00Jentel ChairnosiaJentelChairnosia@univ.pancasila.ac.id<p>Izin lingkungan berdasarkan UUPPLH merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Berfungsi sebagai instrumen pencegahan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan merupakan masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Terjadinya pencemaran lingkungan hidup diperlukan suatu pengawasan lingkungan hidup. Pengawasan lingkungan hidup merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) untuk mengetahui, memastikan, dan menetapkan tingkat ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hasil pengawasan tersebut ditujukan untuk mengembangkan penegakan hukum. Penegakan administrasi lingkungan merupakan pengawasan dan penerapan sanksi Administrasi. Penerapan sanksi Administrasi memiliki 2 (dua) sifat yaitu bersifat preventif (pengawasan) dan represif (sanksi administrasi). Tindak pidana lingkungan berdasarkan UUPPLH merupakan pelanggaran yang dilakukan seseorang atas peraturan perundang-undangan dan/atau ketentuan perizinan lingkungan. Selanjutnya ketentuan pidana lingkungan berdasarkan UUPPLH dalam menerapkan sanksi pidana terkait dengan izin lingkungan diatur dalam Pasal 109, Pasal 111 dan Pasal 112 UUPPLH.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7614TINJAUAN YURIDIS IZIN LINGKUNGAN BARU YANG DIKELUARKAN GUBERNUR JAWA TENGAH SETELAH PUTUSAN PK MA (PUTUSAN NOMOR 99/PK/TUN 2016)2024-10-09T04:53:44+00:00Riyan Permana PutraRiyanPermanaPutra@univ.pancasila.ac.id<p>Setelah adanya putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA), yakni Putusan Nomor 99 PK/TUN 2016 yang membatalkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, bukannya melaksanakan putusan PK MA. Gubernur Jawa Tengah malah mengeluarkan izin lingkungan yang baru melalui SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 tahun 2016. Berdasarkan uraian dari latarbelakang tersebut, apakah izin lingkungan baru yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah dapat dianggap sebagai penyimpangan legalitas mengenai tataruang dan studi AMDAL sebagai dasar menerbitkan izinlingkungan yang baru. Apakah putusan PK MA dapat digunakan untuk membatalkan izin lingkungan baru yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah. Bagaimanakah solusi agar pihak yang bersengketa dalam kasus Semen Rembang dapat mencapai win-win solution. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Izin lingkungan baru yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah dapat dianggap sebagai penyimpangan legalitas mengenai tata ruang dan studi AMDAL sebagai syarat dalam pemberian izin lingkungan. Karena izin lingkungan harus diterbitkan harus sesuai dengan rencana tata ruang dan dengan terlebih dahulu memperoleh AMDAL, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPPLH). Pada Pasal 37 UUPPLH dijelaskan bahwa menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan AMDAL. Begitu juga dengan Pasal 37 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Bagian Ketiga tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang menjelaskan:(2)Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Putusan PK MA (Putusan MA Nomor 99 PK/TUN/2016) dapat membatalkan izin baru yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah. Karna dalam Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dinyatakan, yaitu: Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Sementara Izin lingkungan telah dinyatakan batal dan diwajibkan untuk dicabut ini dinyatakan oleh Putusan MA Nomor 99 PK/ TUN/2016. Gubernur Jawa Tengah memiliki kewajiban melaksanakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016, yaitu dengan mencabut Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 beserta izin turunannya serta perubahannya. Pelaksanaan tersebut sesuai dengan prinsip tertib administratif. Apalagi jika kita lihat dalam SK baru (SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016) yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah tidak disebutkannya merupakan pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016 dan juga tidak dilengkapi dengan AMDAL yang baru pula. Maka SK Gubernur yang lama masih tetap berlaku sekalipun SK Gubernur Jawa Tengah yang baru Nomor 660.1/30 Tahun 2016. SK Gubernur Jawa Tengah yang baru Nomor 660.1/30 Tahun 2016 harus dihentikan karena SKGubernur yang baru tersebut bukanlah pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016. Dalam situasi tersebut SK Gubernur Jawa Tengah yang baru Nomor 660.1/30 Tahun 2016 merupakan KTUN yang tidak memiliki landasan hukum dan dengan demikian harus dianggap tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Solusi dari kisruh Semen Rembang tidak dapat mencapai win-win solution karna tidak dapat mencapai win-win solution karna jika kita lihat dari aspek yuridis, putusan PK MA telah membatalkan dan memerintahkan kepada pejabatan Tata Usaha Negara dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah untuk mencabut izin lingkungan terhadap Semen Indonesia. Dari aspek sosiologis, masyarakat yang mayoritas menjadi petani akan terganggu mata pencariannya dan sumber air adalah merupakan suatu sumber daya alam yang tak terbarukan akan hilang. Jika kita lihat dari aspek sosiologis pun penambangan Semen Indonesia di Kabupaten Rembang ini akan berakibat pada rusaknya wilayah karst yang merupakan sumber air serta juga merusak hutan lindung. Dan juga sejalan dengan pendapat dalam amar putusan PK majelis hakim yang berpendapat bahwa kegiatan penambangan dan pengeboran di atas CAT pada prinsipnya tidak dibenarkan. Pemerintah daerah seharusnya melakukan penghentian operasi Semen Indonesia dan tambang ilegal di kawasan CAT Watuputih dan sekitarnya. Sebagai pelaksanaan putusan PK MA. Karna Bila CAT Watuputih sebagai kawasan lindung dengan dalih apapun ternyata tetap ditambang, maka akan timbul kerugian setara Rp 2,2 triliun per tahun yang timbul sebagai akibat dari kerusakan sumber daya air, untuk lahan pertanian dan rumah tangga, degradasi dan hilangnya nilai ekonomi wisata air Pasuncen dan wisata gua.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7615PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PENGELOLAAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C (STUDI KASUS DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA)2024-10-09T04:56:41+00:00SarniSarni@univ.pancasila.ac.id<p>Penelitian ini merupakan jenis penelitian Yuridis Normatif, yang bersifat Kualitatif. Pemilihan metode penelitian tersebut didasarkan pada sejumlah aktivitas penambangan liar yang terjadi di Kabupaten Wakatobi dan disinkronkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan. Pengumpulan data mengunakan metode wawancara, observasi dan kajian dokumen, serta beberapa dokumentasi sebagai salah satu bahan pembanding antara informasi yang diperoleh dari narasumbe dan kondisi di lapangan. Aspek yang diteliti adalah pengelolaan penambangan bahan galian golongan C yang dilihat dari fakta empiris dan fakta yuridisnya. Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan penambangan bahan galian golongan C di kabupaten Wakatobi adalah minimnya pengawasan, dari pemerintah daerah dan tingkat kesadaran masyarakat yang masih kurang terhadap pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Dalam Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Wakatobi memuat ketentuan mengenai wilayah pertambangan tetapi tidak menentukan secara detail kawasan yang akan dijadikan sebagai lokasi penambangan bahan galian. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan bahan galian C menciptakan kubangan- kubangan besar yang tak terbarukan. Dalam pengelolaan bahan galian C pemerintah daerah lebih menitikberatkan pada unsur penerimaan pajak dan retribusi. Pengaturan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) belum menjadi syarat pengusahaan pertambangan. Faktor-faktor yang mempengaruhiterjadinya penambangan liar khususnya bahan galian golongan C di Kabupaten Wakatobi diantaranya adalah faktor ekonomi, faktor pendidikan masyarakat, sosialisasi yang kurang dan faktor regulasi pengelolaan lingkungan hidup dan pertambangan yang masih bersifat umum. Peraturan Daerah yang khusus mengatur tentang teknis pengelolaan bahan galian golongan C belum ada. Diperlukan segera peraturan daerah yang mengatur secara teknis pengelolaan penambangan bahan galian golongan C di KabupatenWakatobi, agar pemanfaatan sumber daya berupa bahan galian tidak semakin merusak lingkungan</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7616KEPASTIAN HUKUM PENGHAPUSAN MEREK TERDAFTAR DARI DAFTAR UMUM MEREK (STUDI KASUS PUTUSAN PERKARA NO.264 K/PDT.SUS-HKI/2015)2024-10-09T05:04:09+00:00Abraham OctavianusAbrahamOctavianus@univ.pancasila.ac.id<p>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah merek yang telah terdaftar terlebih dahulu dapat dihapus pendaftarannya oleh suatu pendaftaran merek baru yang sama di Indonesia, dan untuk mengetahui alasan penghapusan pendaftaran merek dagang IKEA dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015 telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan penelitian undang-undang dan spesifikasi penelitian dengan metode pengumpulan data. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Merek baru yang memiliki persamaan dengan merek yang telah terdaftar lebih dahulu tidak dapat diterima atau ditolak pendaftarannya sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UndangUndang Merek, sehingga merek yang telah terdaftar terlebih dahulu tidak dapat dihapuskan pendaftarannya dengan adanya pendaftaran merek baru yang memiliki persamaan atau tidak memiliki daya pembeda. Hal tersebut terkait dengan adanya unsur iktikad tidak baik bagi pemilik merek baru yaitu dengan meniru merek dari pihak lain yang diatur pada Pasal 4 Undang-Undang Merek, dan Penghapusan merek terdaftar dan digantikan dengan merek yang memiliki karakteristik yang sama milik pihak lain secara nyata dapat membingungkan dan menyesatkan masyarakat selaku konsumen bagi barang yang diperdagangkanAlasan penghapusan merek IKEA milik Inter Ikea System BV asal Swedia sesuai dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015 yaitu merek IKEA tidak digunakan selama 3 (tahun) berturut-turut atau merek non-use tidak dapat diterapkan atau tidak sesuai dengan ketentuan Perundangan-undangan Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek pada Pasal 61 ayat (2) huruf (a), karena adanya bukti-bukti konkrit yang menunjukkan produksi dan pemasaran barang dengan merek IKEA yang dilakukan oleh perusahaan yang ditunjuk di Indonesia tetap terlaksana, dan pertimbangan lainnya yaitu bahwa merek IKEA milik Inter Ikea System BV asal Swedia merupakan merek terkenal yang telah banyak diketahui di berbagai negara</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7617PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK TERKENAL (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 557 K/PDT.SUS-HKI/2015 DAN PUTUSAN NOMOR 264 K/PDT.SUS-HKI/2015)2024-10-09T05:18:53+00:00David Brain Kasidy MarpaungDavidBrainKasidyMarpaung@univ.pancasila.ac.id<p>Kriteria merek terkenal tidak hanya didasarkan pada pengetahuan umum masyarakat tetapi juga di dasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang telah diperoleh karena promosi yang telah dilakukan pemiliknya. Reputasi suatu merek dapat dibuktikan dengan pendaftaran merek tersebut di beberapa negara. Dalam praktik di lapangan di Indonesia, begitu banyak merek terkenal yang telah ditiru oleh sekelompok orang yang tidak beritikad baik. Para peniru, khususnya peniru merek asing dengan leluasa memasarkan merek tersebut, dan memperoleh keuntungan dari hasil barang yang mereka tiru tersebut. Peniruan ini telah mengakibatkan kerugian bagi produsen maupun konsumen barang merek terkenal yang ditiru tersebut. Dalam penelitian ini, akan dikaji tentang Bagaimana Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek terkait perlindungan merek terkenal, Bagaimana pertimbangan Hakim dalam sengketa merek terkenal yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 557 K/Pdt.Sus-HKI/2015 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015, dan Bagaimana ketentuan hukum Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dalam penerapan asas itikad baik sebagai upaya pemberian perlindungan hukum terhadap merek terkenal di masa akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder dan dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa Penerapan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek terkait perlindungan merek terkenal tidak terlaksana dalam kasus sengketa Pierre Cardin dan IKEA. Hal tersebut dikarenakan dalam pelaksanaannya, itikad baik dalam melaksanakan Pasal 6, Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tidak dilakukan oleh pemohon merek dan juga Dirjen HKI. Oleh karena itu, ketentuan hukum dalam penerapan asas itikad baik sebagai upaya pemberian perlindungan hukum terhadap merek terkenal di masa akan datang adalah dengan diterbitkan pengaturan khusus yang berisikan pedoman pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek tentang itikad baik dalam permohonan pendaftaran merek. Selain daripada itu, dibutuhkannya mental aparat penegak hukum yang harus kuat dan penuh integritas, dan terakhir adalah adanya itikad baik atau good faith dari para pihak yang berniat mengajukan pendaftaran merek.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7618PERAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEREK2024-10-09T05:24:37+00:00Amran Purba AmranPurba@univpancasila.ac.id<p>Merek adalah salah-satu bentuk hak kekayaan intelektual. Untuk melindunginya, hukum melakukan perlindungan terhadap pendaftaran merek yang merupakan mekanisme administratif dan terhadap pelanggaran merek yang merupakan penegakan hukum. Dalam rangka penegakan hukum ini dilakukan penyelesaian sengketa merek yang berupa penghapusan pendaftaran merek dan pembatalan pendaftaran merek melalui pengadilan. Pengadilan di Indonesia dianggap proses waktu panjang, biaya besar, dan kualitas putusan diragukan. Permasalahannya, apakah dimungkinkan dilakukan alternatif penyelesaian sengketa berupa mediasi? Dalam hal ini, apa sengketa merek yang dapat diselesaiakan dengan mediasi? Bagaimana pula peran mediasi dalam penyelesaian sengketa merek, terutama dalam kasus merek terkenal Prada? Penyelesaian sengketa merek dapat dilakukan dengan mediasi dengan dasar hukum HIR/Rbg, UU Arbitrase dan APS, UU Merek 2001, SEMA 2002, PERMA 2003, PERMA 2008, dan PERMA 2016. Meskipun sementara ini menurut UU Merek 2001 mediasi atas sengketa merek tidak dapat dilakukan terhadap gugatan ganti rugi, namun sengketa merek lainnya dapat ditempuh. Meskipun mediasi memiliki sejumlah kelebihan, seperti biaya murah, proses cepat, dapat dikendalikan, untuk kerjasama, lebih fleksibel, dan bersifat rahasia; namun mediasi pun mempunyai beberapa kekurangan, seperti kekuatan kesepakatannya lemah, tidak terlaksana bila ditolak salah-satu pihak, dan tidak cocok dengan semua kasus. Meskipun begitu, pelaksanaan mediasi atas sengketa merek juga menghadapi berbagai hambatan, yaitu budaya, kewenangan, regulasi, kesepakatan, infrastruktur, pemerintah, dan pebisnis. Untuk melihat lebih jelas peran mediasi ini, kasus merek terkenal Prada menunjukkan telah berhasilnya dilakukan mediasi.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7619Politik hukum adalah salah satu aspek yang dilakukan dalam penyusunan peraturan perundangundangan.Banyak yang tidak menyadari bahwa politik hukum adalah hal yang penting untuk mengetahui penyebab lahirnya suatu peraturan perundang-undangan serta untuk men2024-10-09T05:34:29+00:00Fajar B.S. LaseFajarB.S.Lase@univ.pancasila.ac.id<p>Politik hukum adalah salah satu aspek yang dilakukan dalam penyusunan peraturan perundangundangan.Banyak yang tidak menyadari bahwa politik hukum adalah hal yang penting untuk mengetahui penyebab lahirnya suatu peraturan perundang-undangan serta untuk mengetahui arah dan tujuan dari pada peraturan perundang-undangan tersebut. Penelitian ini akan berfokus pada penelaahan aspek politik hukum atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas yang memberikan kemudahan dalam pendirian Perseroan Terbatas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman mengenai landasan, nilai-nilai, dan tujuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7620PARADIGMA HUKUM ATAS KONFLIK ANTARA PENGUSAHA DENGAN PEKERJA TERKAIT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NO. 012/PUU-1/2003 TANGGAL 28 OKTOBER 20042024-10-09T05:38:06+00:00Marinho Fransisco SipayungMarinhoFransiscoSipayung@univ.pancasila.ac.id<p>Paradigma Konfik berarti titik pandang suatu perselisihan yang terjadi akibat adanya kesenjangan antara kelompok masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan individu atau kelompok masyarakat tertentu lainnya pada suatu hubungan antara individu/ kelompok yang satu dengan individu/ kelompok yang lainnya. Pada tanggal 28 Oktober 2004 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memutuskan bahwa Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menunjukkan perlu dan pentingnya aturan khusus mengenai Perburuhan/ Ketenagakerjaan yang terangkum pada berbagai bentuk dinamika perselisihan antara Pengusaha dengan Pekerja. Dewasa ini hampir setiap saat baik itu pengusaha maupun pekerja sama-sama mencari celah ‘untuk menang’ atas perselisihan yang terjadi antara Pengusaha dan Pekerja dari peraturan perundangundangan ketenagakerjaan tersebut, akibatnya sama-sama membuang waktu, energi, biaya dan berujung di Mahkamah Agung Republik Indonesia atas perselisihan yang ada.Dalam kasus gugatan pemutusan hubungan kerja (PHK) antara Heni Kurnia Indrawati melawan perusahaannya, dengan perkara No. 112 K/PDT.SUS-PHI/2013, dimana Heni telah bekerja selama 11 tahun dengan jabatan kasir, dan pengusaha melakukan PHK kepada Heni dengan alasan telah melakukan kesalahan berat, dengan tuduhan pidana penggelapan atas kehilangan uang laci Rp.2.000.000,- (Dua juta rupiah). Oleh karena memang tidak melakukan hal tersebut, akhirnya Heni di sidang pidana dan divonis 2 bulan percobaan, dan karena kesalahan berat tersebut pengusaha menyatakan bahwa Henny tidak mendapatkan pesangon 1 (Satu) sen rupiah pun, padahalHenny sudah mengabdi dan juga turut membesarkan perusahaan, karena diduga laporan kepada polisi oleh perusahaan semata-mata hanya agar terhindar dari kewajiban memberikan hak-hak dan kompensasi atas PHK pekerja yang diatur oleh undang-undang. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini akan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan hukum yang relevan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yakni menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dengan pelaksanaannya serta menggunakan bahan-bahan hukum dan juga nonhukum sebagai penunjang dari penelitian ini.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7621PENERAPAN UNDANG-UNDANG MINERAL DAN BATUBARA TERKAIT KEWAJIBAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN DALAM NEGERI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KONTRAK KARYA PERUSAHAAN PERTAMBANGAN2024-10-09T05:41:08+00:00Wilson CollingWilsonColling@univ.pancasila.ac.id<p>Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)sejak diberlakukan hingga kini masih menjadi polemik bagi investasi di sektor pertambangan minerba. Salah satu pasal yang menjadi sumber polemiktersebut yaitu Pasal 70 UU Minerbayang mewajibkan perusahaan pemegang izin Kontrak Kontrak untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri, sebagaimana diwajibkan pada pemegang IUP dan IUPK yang sudah berproduksi (Pasal 103). Hal yang ingin dikaji dalam tulisan ini adalah: Pertama, Apakah penerapan peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dilakukan secara konsisten; Kedua, Apa implikasi dari penerapan Pasal 170 UU Minerba terkait kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri terhadap kontrak karya perusahaan pertambangan?; dan Ketiga, Bagaimana kepastian hukum dari penerapan UU Minerba?Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan hukum normatif dengan metode analisis bersifat kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yang bertujuan agar diperolehnya suatu gambaran yang menyeluruh tentang penerapan undang-undang nomor 4 tahun 2009 terhadap kewajiban pengolahan dan pemurnian dalam negeri serta implikasi hukum kontrak karya.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7622TINJAUAN YURIDIS PENGATURAN SISTEM AUDIT HUKUM PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DAN RETAIL (STUDI KASUS PTXYZ)2024-10-09T05:43:12+00:00Lesmana SofyanLesmanaSofyan@univ.pancasila.ac.id<p>Tesis ini membahas peranan audit internal dalam suatu perusahaan manufaktur dan retail dalam mencegah terjadinya penyimpangan atau manipulasi selama perusahaan melakukan kegiatan bisnisnya untuk mencapaitujuan yang telah ditetapkan. Manufaktur dan retail sebagai suatu satu kesatuan industri yang memproduksi suatu barang dan menjualnya kepada masyarakat.Peranan audit internal dalam perusahaan manufaktur dan penjualan retail sangat penting dalam memberikan masukan yang penting bagi pihak manajemen dalam menunjang efisiensi dan efektivitas perusahaan serta meningkatkan daya saing perusahaan secara langsung dalam bisnis retail, terjadi antara retail modern dan tradisional, antar sesama retail modern, antar sesama retail tradisional, dan ditambah persaingan antar supplier yang ada. Adanya suatu sistem hukum tentang pengawasan internal yang terintegrasi dengan sistem hukum perekonomian itu sendiritentunya akan menciptakan usaha manufaktur dan retail yang bersih dan sehat diIndonesia.Pokokpermasalahanpenelitianini adalahbagaimanaditerapkandandilaksanakannya suatu pengaturan terintegrasi secara nasionalatas sistem pengawasan dari auditinternal yangdapat membantu dan menunjang efektivitas pengendalian internal dalam suatu perusahaan dimana bergerak di bidang manufaktur dan retail, demi pengembangan dan kemajuan dunia bisnis dan perekonomian di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif atau kepustakaan, yang dalam menguraikan permasalahannya dilakukan secara deskriptif analisis terhadap data sekunder. Dalam penulisan penelitian ini akan mempergunakan 2 (dua) teori yakni Teori Akuntabilitas dan Teori Pemeriksaan Akuntasi (Auditing).Salah satu syarat yang wajib dilakukan oleh perseroan terbatas dalam rangka mendirikan dan menjalankan usaha adalah melakukan pendaftaran perusahaan dalam Daftar Perusahaan sesuai dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Undang-Undang WDP).Akta pendirian perusahaan badan hukum perlu mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM karena pengesahan itu merupakan pengawasan apakah Anggaran Dasar perusahaan sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang dan sekaligus pengakuan sebagai badan hukum (Pasal 9ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007).</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7623PENGATURAN ANGKUTAN ORANG DENGAN KENDARAAN BERMOTOR UMUM TIDAK DALAM TRAYEK BERBASIS APLIKASI TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT2024-10-09T05:45:08+00:00Citra Referandum MCitraReferandumM@univ.pancasila.ac.id<p>Saatini, jasa pelayanan taksi dan angkutan sewa berbasis aplikasi sedang banyak diminati oleh konsumen Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Hal ini dikarenakan taksi dan angkutan sewa berbasis aplikasi dinilai lebih murah, mudah dan nyaman dari pelayanan jasa taksi yang ada. Grab Indonesia adalah salah satu perusahaan penyedia jasa pelayanan taksi dan angkutan sewa berbasis aplikasi yang hadir di Indonesia dengan merek dagang Grab Taxi dan Grab Car. Selain Grab Car, terdapat pula Uber dan Go Car sebagai angkutan sewa berbasis aplikasi yang turut meramaikan pasar. Kehadiran taksi dan angkutan sewa berbasis aplikasi ini mendapat penolakan dari berbagai perusahaan penyedia jasa pelayanan taksi konvensional seperti Bluebird dan Express yang mana keduanya adalah penguasa pasar tertinggi di DKI Jakarta. Penolakan tersebut disampaikan melalui aksi unjuk rasa pada 22 Maret 2016, massa aksi menuntut pemerintah supaya melakukan pemblokiran terhadap aplikasi Uber dan Grab karena dianggap mengganggu iklim persaingan usaha dan investasi yang selama ini cukup baik. Atas permasalahan tersebut, peneliti menganggap perlu untuk mengkaji pengaturan usaha taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi di Indonesia, menganalisa taksi dan angkutan sewa berbasis aplikasi sebagai pesaing jasa pelayanan taksi, serta berusaha mencari pengaturan diskrimasi (unequal level of playing field) antara angkutan orang dengan menggunakan taksi dan angkutan sewa berdasarkan perspektif UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam tesis ini, metode penelitian yang digunakan yaitu metode yang bersifat yuridis normatif. Data yang digunakan untuk penulisan tesis ini yaitu data primer dan data sekunder, data primer diperoleh melalui wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Untuk menganalisis data, digunakan metode analisis kualitatif, analisis berupa kalimat tanpa mempergunakan rumus atau statistik. Pengaturan yang berkaitan dengan taksi dan angkutan sewa baik konvensional maupun berbasis aplikasi tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai dari undang- undang hingga peraturan daerah. Penulis menemukan bahwa taksi berbasis aplikasi termasuk ke dalam pasar jasa pelayanan taksi, karena taksi berbasis aplikasi merupakan pesaing dari taksi konvensional. Selanjutnya, penulis juga menemukan diskriminasi pengaturan yang berdampak pada perbedaan kemampuan bersaing (Unequal Level of Playing Field) antara angkutan orang dengan menggunakan taksi dan angkutan sewa sehingga menyebabkan disinsentif bagi terciptanya persaingan usaha yang sehat sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7624KEBIJAKAN BEBAS VISA KUNJUNGAN DI INDONESIA (ANALISIS PERATURAN PRESIDEN NO. 21 TAHUN 2016 TENTANG BEBAS VISA KUNJUNGAN DI INDONESIA)2024-10-09T05:47:17+00:00Ahmad NabilAhmadNabil@univ.pancasila.ac.id<p>Pelaksanaan Peraturan PresidenNo. 21Tahun 2016 tidak selamanya membawa manfaat dan timbal balik. Kebijakan bebas visa ditetapkan oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia dengan mempertimbangkan asas manfaat dan timbal balik dari negara yang warga negaranya diberikan bebas visa kunjungan sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian pasal 43 ayat 2 huruf a. Di dalam penjelasan pasal 43 ayat 2 huruf a tertulis: Yang dimaksud “pembebasan Visa” dalam ketentuan ini misalnya untuk kepentingan pariwisata yang membawa manfaat bagi perkembangan pembangunan nasional dengan memperhatikan asas timbal balik, yaitu pembebasan Visa hanya diberikan kepada Orang Asing dari negara yang juga memberikan pembebasan Visa kepada warga negara Indonesia. Namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa Kunjungan telah memberikan bebas visa kunjungan kepada 147 negara yang belum memberikan pembebasan visa bagi Warga Negara Indonesia</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7625PERTANGGUNGJAWABAN HAM KORPORASI DALAM KASUS PEMBAKARAN LAHAN DAN HUTAN DI INDONESIA2024-10-09T05:49:48+00:00Uli Parulian SihombingUliParulianSihombing@univ.pancasila.ac.id<p>Pembakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menimbulkan kerugian materil, dan bahkan korban jiwa sejak 1997 sampai dengan 2017. Berdasarkan berbagai laporan dari lembaga pemerintah/negara, media, lembaga internasional dan organisasi masyarakat sipil menduga korporasi merupakan pelaku pembakaran lahan dan atau hutan. Korporasi yang diduga pelaku pembakaran hutan dan lahan belum dapat diminta pertanggungjawaban HAM-nya karena UU Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor 39 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara tegas pertanggungjawaban HAM korporasi, dan sebagai pelaku pelanggaran HAM. Terdapat perbedaan pendapat dan ragam penafsiran di kalangan sarjana apakah korporasidapatdimintapertanggungjawabanyaataspelanggaranHAM.BerdasarkanputusanPengadilan Tinggi Nigeria, PN & PT Den Haag, kesekapatan-kesepakatan internasional (Prinsip-Prinsip Panduan HAM dan Bisnis PBB dll) menegaskan doktrin pertanggungjawaban HAM mengalami perluasan, tidak hanya tanggung jawab negara tetapi juga korporasi.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7626PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG BERITIKAD BAIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA2024-10-09T06:18:34+00:00Kusbandi Salatin KusbandiSalatin@univ.pancasila.ac.id<p>Salah satu kejahatan baru yang belakangan ini muncul adalah kejahatan pencucian uang (money laundering).Kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin diminati oleh para pelaku kejahatan karena terdapat prinsip bahwa uang adalah darah bagi kejahatan (money is blood of the crime). Prinsip tersebut menjadikan seorang penjahat akan selalu berusaha untuk dapat mempertahankan uang hasil dari kejahatan yang dilakukannya, karena tanpa uang tersebut kejahatan-kejahatan lainnya tidak dapat dilakukan lagi. Sama halnya dengan seorang manusia tidak akan dapat hidup tanpa darah dalam tubuhnya. Oleh karena itu, para penegak hukum jika ingin mengentaskan sebuah kejahatan maka seharusnya yang harus dilakukan adalah dengan mematikan dulu sistem peredaran darah dalam tubuh sebuah kejahatan. Obyek dari pencucian uang adalah perolehan uang yang dikenal dengan “dirty money” (uang kotor atau uang haram). Uang kotor ini mempunyai arti uang yang diperoleh dari hasil tindak pidana kejahatan seseorang yang kemudian uang tersebut dibersihkan agar tidak dapat dilacak sumbernya.Melihat dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana pencucian uang, maka kejahatan ini menjadi perhatian dunia internasional. Oleh karena itu perlu adanya kerja sama antara bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa lainnya untuk memberantas kejahatan pencucian uang. Gerakan internasional untuk memberantas tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi The International Convention Against Transnational Organized Crime. Adapun salah satu kasus yang menarik terkait tindak pidana pencucian uang adalah kasus yang melibatkan Terdakwa Ronia Ismawati Nur Azizah alias Edies Adelia. Kasus ini bermula, pada bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Juli 2013 telah terjadi dugaan tindak pidana penipuan, penggelapan dan pencucian uang yang dilakukan oleh Ferry Setiawan (Suami Eddies Adelia) melalui kerjasama pengadaan batubara di PT. PLN Batubara yang beralamat di Jl. Trunujoyo M1/ 35 Jakarta Selatan dengan Apriyadi Malik sebagai pemodal. Pada perjalanan bisnis tersebut, ternyata uang yang dikirimkan Apriyadi Malik kepada Ferry Setiawan yang seharusnya digunakan untuk pengadaan batubara tidak pernah terjadi sehingga Sdr. Apriyadi Malik merasa dirugikan dan uang yang dikirimkan tersebut telah digunakan oleh Ferry Setiawan. Terdakwa Ronia Ismawati Nur Azizah pada tanggal 28 April 2015 dijatuhi hukuman pidana penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama 3 (tiga) bulan dikurangi masa penahanan pada waktu proses penuntutan selama 3 (tiga) bulan karena terbukti bersalah melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, namun terdakwa tidak perlu menjalani hukuman lagi. Pada dasarnya Pasal 28D ayat(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan perlindungan hukum terhadap setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum maka dengan adanya ketentuan ini diharapkan setiap pihak yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c) https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/JMPH/article/view/7627TANGGUNG JAWAB BANK SYARIAH DALAM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA PERJANJIAN MURABAHAH2024-10-09T06:30:21+00:00Erlangga KurniawanErlanggaKurniawan@univ.pancasila.ac.id<p>Latar belakang dalam tulisan ini menyoroti perkembangan bank syariah di Indonesia yang tidak diimbangi dengan pemahaman prinsip syariah dalam penyelenggaraan kegiatan usahanya, terutama dalam kegiatan pembiayaan kepemilikan rumah dengan cara murabahah. Tulisan ini mengkaji tanggung jawab hukum bank syariah dalam penyusunan perjanjian murabah yang tidak sesuai dengan prinsipprinsip syariah sebagaimana ditetapkan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)tentang Murabahah, yang mana haltersebut merupakan kewajiban hukum perbankan syariah berdasarkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. selain hal tersebut, pembahasan didalam tulisan ini juga mengemukakan dan membahas mengenai standar-standar produk perbankan syariah yang dikodifikasi dalam Buku Produk Perbankan Syariah oleh Otoritas Jasa Keuangan yang merupakan pedoman dan standar bagi perbankan syariah selaku pelaku usaha dalam menyalurkan produk dan jasa pembiayaan murabahah kepada nasabah. Standar produk yang diuraikan dalam Buku Produk Perbankan Syariah harus diterapkan dalam penyusunan perjanjian murabahah, penerapan prinsip tersebut juga merupakan bentuk nyata atas pelaksanaan prinsip kehati-hatian yang menjadi kewajiban hukum bank berdasarkan Undang Undang Tentang Perbankan, Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, sekaligus bentuk pelaksanaan prinsip perlindungan hukum bagi Nasabah perbankan syariah sebagaimana diatur dalam POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, maupun Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. hasil analisis dari pembahasan dalam tulisan ini menunjukan perbankan syariah harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat penyusunan perjanjian yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, hal tersebut didasarkan pada peraturan perundang-undangan terkait bank syariah, termasuk turunan peraturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuagan serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.</p>2017-10-01T00:00:00+00:00Copyright (c)