ETIKA BERDEMOKRASI PANCASILA DALAM KONSTESTASI POLITIK DI ERA DIGITALISASI
Abstract views: 2038 | pdf (Bahasa Indonesia) downloads: 8212
Abstract
Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pesta demokrasi yaitu pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan pemilihan anggota Legislatif (DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kab./kota) secara bersamaan tepatnya tanggal 17 April 2019 dengan hingar bingar yang hampir saja mengalami keterpurukan dalam berdemokrasi yaitu konflik diantara pendukung, khususnya berhadap dua calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih pada waktu itu. Kampaye dilakukan melalui smartphone, yang mana setiap orang, para relawan maupun para elite politik dengan mudah penyebarkan informasi yang benar maupun yang tidak benar (berita bohong) untuk memenangkan konstetasi tersebut. Buktinya terjadi banyaknya berita atau informasi bohong (hoax) terkait issue-issue politik yang tidak sesuai fakta dan data, yang akhirnya saat mempengaruhi kehidupan sosial, budaya, prilaku, dan etika dalam berinteraksi sosialnya masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum sangat menjujung tinggi prinsip-prinsip etika dan moralitas. Etika dan moralitas merupakan sistem nilai yang dituangakan dalam hukum/norma, kemudian menjadi norma yang mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi sosial. Jimly Asshiddiqie antara etika/moral dan hukum/norma, adalah ibarat lautan sebagai etika/moral dengan hukum/norma sebagai kapalnya.
Etika kehidupan berbangsa telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di dalam konsederannya berbunyi: “untuk mewujudkan cita cita luhur bangsa Indonesia sesuai Pembukaan UUD 1945 tersebut, diperlukan pencerahan sekaligus pengamalan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia.” Selanjutnya bahwa “Etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemuduran yang menyebabkan terjadi krisis multidemensi”. Untuk itu diperlukan adanya rumusan tentang pokok-pokok etika kehidupan berbangsa sebagai acuan bagi pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia dalam berdemokrasi