ANALISIS PERBANDINGAN DUA PENETAHAPAN PENGADILAN ATAS PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 916/Pdt.P/2022/PN.Sby dan 71/Pdt.P/2017/PN.Bla)
Abstract
Perkawinan merupakan ikatan yang sakral karena di dalam ikatan perkawinan tersebut tidak hanya terdapat ikatan lahir atau jasmani saja tetapi juga ada ikatan rohani yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun demikian dalam kenyataannya masih ada terjadi perkawinan beda agama ditengah-tengah masyarakat yang dilakukan secara tertutup atau secara terangterangan dengan melangsungkan perkawinan tersebut atas dasar putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam prakteknya masih sering ditemui adanya penetapan permohonan izin perkawinan beda agama, salah satunya yaitu Penetapan Pengadilan Negeri Surabaya berbeda dengan Penetapan Pengadilan Negeri Blora yang menolak memberikan izin perkawinan beda agama. Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan perkawinan beda agama studi kasus Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN. Sby dan pertimbangan hakim dalam menolak izin perkawinan beda agama studi kasus Penetapan Nomor Nomor 71/Pdt.P/2017/PN.Bla. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Data sekunder dalam penelitian hukum normatif meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian ini adalah Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pencatatan perkawinan beda agama di Pengadilan Negeri Surabaya menggunakan Pasal 35 huruf a UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pengadilan Negeri Blora lebih menekankan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan beda agama berdasarkan penetapan pengadilan merupakan perkawinan yang sah dan tidak memiliki akibat hukum. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah, bahwa tidak adanya payung hukum yang mengatur tentang perkawinan beda agama pasca dilahirkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-undang ini menjadikan sebagai pertimbangan hakim untuk melangsungkan perkawinan beda agama dan Hakim dalam menolak permohonan karena memahami Pasal 2 ayat (1) secara jelas sudah memberikan ketegasan bahwa tidak boleh melaksanakan perkawinan kecuali sesuai dengan agamanya.