https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/similia/issue/feed SIMILIA SIMILIBUS: JURNAL HUKUM DAN PERADILAN 2024-01-25T04:15:30+00:00 Jurnal Similia Similibus similiasimilibus@univpancasila.ac.id Open Journal Systems <p style="text-align: justify;"><span style="color: #993300;"><strong>SIMILIA SIMILIBUS: Jurnal Hukum dan Peradilan</strong></span> adalah jurnal ilmiah bidang Ilmu Hukum, diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta. Jurnal ini didedikasikan sebagai media kajian dan pembahasan hukum dan berhukum (<em>berrechten</em>), Terbit pertama pada 2024.</p> <p style="text-align: justify;"><span style="color: #993300;"><strong>SIMILIA SIMILIBUS: Jurnal Hukum dan Peradilan</strong></span> terbit sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu pada <strong>Februari</strong> dan <strong>Juli</strong>. Dalam setiap edisi terbitannya,&nbsp;<span style="color: #993300;"><strong>SIMILIA SIMILIBUS: Jurnal Hukum dan Peradilan</strong></span> akan memuat 5 (lima) artikel hasil penelitian atau pengkajian hukum dan satu artikel ulasan tokoh dan pemikiran hukum.</p> https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/similia/article/view/6190 ANALISA PENETAPAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA 2024-01-25T04:15:10+00:00 Wilia Arsila wiliars_01@gmail.com Indah Herlina wiliars_01@gmail.com <p>Kasus pembunuhan berencana yang melibatkan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu menunjukkan kompleksitas dalam penanganannya karena melibatkan penegak hukum dan potensi manipulasi alat bukti serta saksi-saksi pelaku. Pada putusan Nomor 798/Pid. B/2022/PN. Jkt.Sel, terdakwa menyatakan diri sebagai saksi-pelaku yang ingin menjadi Justice Collaborator (JC) terhadap kasus tersebut. Namun, kelemahan dalam penetapan JC muncul karena terdakwa adalah pelaku utama dalam tindak pidana tersebut. Proses penetapan JC harus dilakukan secara hati-hati dan memperhatikan kepentingan keadilan serta kebenaran dalam penanganan kasus ini. Pokok permasalahan yang diajukan oleh Peneliti adalah mengenai Pengaturan penetapan Justice Collaborator di Indonesia dan bagaimana proses penetapan JC dilakukan dalam kasus pembunuhan berencana yang dibahas dalam Putusan Nomor 798/Pid. B/2022/PN. Jkt.Sel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan penetapan Justice Collaborator di Indonesia serta proses penetapan Justice Collaborator dalam kasus pembunuhan berencana yang dibahas dalam Putusan Nomor 798/Pid. B/2022/PN. Jkt.Sel. Metode penelitian digunakan adalah penelitian hukum normatif. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaturan Justice Collaborator di Indonesia diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator), Peraturan Bersama Aparat Penegak Hukum dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Dalam Proses penetapan Justice Collaborator (JC) dalam kasus pembunuhan berencana yang melibatkan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu melanggar dari ketentuan yang ada dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011, Peraturan Bersama Aparat Penegak Hukum dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.</p> 2024-01-25T04:11:32+00:00 Copyright (c) 2024 SIMILIA SIMILIBUS: JURNAL HUKUM DAN PERADILAN https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/similia/article/view/6192 PENUTUPAN ACCOUNT MEDIA SOSIAL YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK TERHADAP SARA OLEH HAKIM BERDASARKAN ASAS INDEPENDENSI KEMANDIRIAN 2024-01-25T04:15:16+00:00 Putri Wahyuningsih putriwhyu@gmail.com Boedi Santoso Irianto putriwhyu@gmail.com <p>Di zaman kemajuan seperti sekarang tidak dapat dipungkiri segala bentuk teknologi semakin mempunya perkembangan pesat setiap harinya, salah satunya adalah media sosial. Media sosial membawa kita para pengguna untuk mempermudah segala bentuk kegiatan dalam kehidupan sehari-hari bahkan membuat para pengguna merasa bergantung dengan adanya media sosial. Tetapi, perkembangan teknologi tidak hanya berupa memberikan dampak positif saja, namun juga memberikan dampak negatif. Tindak pidana penghinaan atau ujaran kebencian (hate speech) dan/atau penghinaan, serta penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Dengan perkembangan zaman yang ada membuat munculnya kejahatan baru yang disebut dengan cybercrime melalui jaringan internet. Munculnya beberapa kasus cybercrime melalui jaringan internet di Indonesia seperti penghinaan di media sosial, penipuan, dan penyadapan data. Peneliti ingin menganalisis tentang Putusan Nomor 628/Pid.Sus/2021/PN JKT. Sel., mengenai penerapan sanksi tindak pidana ujaran kebencian dan penghinaan yang ditujukan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di Sosial Media dan kewenangan hakim terhadap akun media soial yang tidak diletakan dalam upaya paksa penyitaan berdasarkan Asas Independensi dan Kemandirian. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penelitian dilakukan dengan menganalisis bahan lainnya dan bahan rujukan dalam bidang hukum lainnya. Dalam penjatuhan sanksinya terhadap kasus yang terjadi serta menimbang penerapan hukum di Indonesia yang menerapkan keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan individu juga serta keseimbangan guna mencapai kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat serta hakim memiliki kewenangan yang bisa dilakukan untuk menutup akun tersebut.</p> 2024-01-25T04:12:17+00:00 Copyright (c) 2024 SIMILIA SIMILIBUS: JURNAL HUKUM DAN PERADILAN https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/similia/article/view/6193 UJARAN KEBENCIAN DALAM TINDAK PIDANA MAKAR BERDASARKAN PRESPEKTIF PSIKOLINGUISTIK 2024-01-25T04:15:19+00:00 Farah Millenia Elprianty farahmillenia001@gmail.com Yamin Yamin farahmillenia001@gmail.com <p>Maraknya kasus makar di Indonesia saat ini telah banyak terjadi pada kalangan masyarakat yang tidak paham apabila suatu perkataannya dapat termasuk kedalam tindak pidana makar. Pada Penelitian kali ini, penulis tertarik untuk mengangkat kasus yang membahas mengenai tindak pidana makar yang terjadi pada pemilihan umum tahun 2019 lalu yang menggambarkan kompleksitas tindak pidana makar dalam konteks politik nasional di Indonesia. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 104 KUHP, makar terjadi apabila adanya maksud membunuh presiden atau wakil presiden, merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden yang sedang memerintah. Tindak pidana makar tidak hanya dapat terjadi karena adanya tindakan, namun juga dapat terjadi dari tutur kata yang bisa mengacu pada tindak pidana makar. Tindak tutur yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana makar, harus dilihat dari sisi psikolinguistik alasan mengapa bisa terjadi tindak tutur tersebut. Pendekatan psikolinguistik akan digunakan untuk memahami akar penyebab dari tindak tutur yang dapat merugikan keamanan negara tersebut.</p> 2024-01-25T04:12:52+00:00 Copyright (c) 2024 SIMILIA SIMILIBUS: JURNAL HUKUM DAN PERADILAN https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/similia/article/view/6194 PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP ALAT BUKTI DIGITAL BERDASARKAN ASAS PERTIMBANGAN HUKUM YANG CUKUP (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 96/pid.sus/2021/ PN.Tbk) 2024-01-25T04:15:22+00:00 Riski Marvinda Megaliani riskimm06@gmail.com Lisda Syamsumardian riskimm06@gmail.com <p>Dengan berjalannya proses penemuan dan pengembangan media komunikasi dan informasi kemudian menghadirkan sebuah teknologi yang dapat memperlancar arus komunikasi dan informasi tanpa terhalang oleh ruang, batas, jarak dan waktu serta dapat meningkatkan produktifitas serta efisiensi, yang kemudian dikenal dengan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Akan tetapi, kemajuan teknologi tersebut tidak hanya memberikan dampak yang positif saja kepada penggunanya tetapi ia juga memberikan dampak negative apabila disalahgunakan, peneliti ingin menganalisis tentang Putusan Nomor 96/pid.sus/2021/Pn.Tbk, didalam putusan ini terdakwa telah melakukan pencemaran nama baik yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 206 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah apakah sanksi yang diberikan sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku dan apakah putusan tersebut sudah tepat dalam melakukan pengumpulan alat bukti dengan undang-undang yang berlaku dan disesuaikan dengan teori asas <em>onvoldoende gemotiverd </em>(asas pertimbangan hukum yang cukup). Dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, penelitian dilakukan dengan menganalisis bahan lainnya dan bahan rujukan dalam bidang hukum lainnya. Pemahaman mengenai asas hukum <em>onvoldoende gemotiverd, </em>&nbsp;pada hakikatnya, merupakan persinggungan dari dua konsep yaitu makna dari asas hukum dan putusan hakim. Oleh karena itu, aspek pertimbangan hukum tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan hakim itu sendiri.</p> 2024-01-25T04:13:21+00:00 Copyright (c) 2024 SIMILIA SIMILIBUS: JURNAL HUKUM DAN PERADILAN https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/similia/article/view/6195 KESESATAN BERPIKIR (FALLACY) DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF TEORI PARADIGMA THOMAS S. KUHN 2024-01-25T04:15:27+00:00 Abdul Rahman abdlrahman@gmail.com Rocky Marbun abdlrahman@gmail.com <p><em>Normal Science</em> dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia ialah Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi, namun dalam penerapan hukumnya sering terjadinya <em>anomaly</em> dan melanggar asas legalitas, karena dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi institusi penegak hukum sering kali menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi yang tidak mempertimbangkan Pasal 14, karena pada Pasal 14 undang-undang tindak pidana korupsi menyatakan harus secara tegas dikatakan sebagai tindak pidana korupsi didalam undang-undang tersebut baru dapat diberlakukannya ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi, asas yang terkandung dalam undang-undang tindak pidana korupsi ialah <em>lex specialis systematis</em>, namun kerapkali hakim tidak mempertimbangkan Pasal 14 tersebut sehingga terjadinya <em>fallacy</em> dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Adapun tujuan penelitan, untuk menganalisis argumentasi hukum jaksa penuntut umum dalam memberikan dakwaan dan hakim dalam memutuskan perkara tersebut, agar dapat melihat dalam penerapan hukumnya apakah terdapat <em>fallacy</em> sehingga mengabaikan asas legalitas dan berakibatnya banyak <em>anomaly</em>, ditinjau dari perspektif teori paradigma Thomas S. Kuhn. Metode Penelitian yuridis normatif. Penegakan Hukum terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dibarengi dengan munculnya aturan tehnis dari masing-masing institusi penegak hukum. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memasuki tahap <em>Anomaly</em> dalam penegakan hukumnya, karena yang merupakan kerugian negara atau perekonomian negara sudah pasti tergolong tindak pidana korupsi, sepanjang dapat diperhitungkan kerugian negara atau perekonomian negara. Namun demikian, secara yuridis normatif terhadap Pasal 14 justru membatasi proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang sering kali diabaikan oleh penegak hukum, sehingga terjadinya <em>fallacy</em> dalam penerapan norma konkrit tersebut, karena seharusnya Pasal 14 dipertimbangkan.</p> 2024-01-25T04:14:11+00:00 Copyright (c) 2024 SIMILIA SIMILIBUS: JURNAL HUKUM DAN PERADILAN