PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011

  • TANTO ANTON PURBOYO Universitas Pancasila
Keywords: Pekerja/buruh, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Ketenagakerjaan

Abstract

Adanya pembagian pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), berawal dari adanya pekerjaan yang memang membutuhkan waktu tertentu dalam pelaksanaan pekerjaannya. PKWT dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan banyak diatur dalam Pasal 56, 59, 65, dan 66. Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Artinya apabila suatu pekerjaan berdasarkan jenis, sifat, atau kegiatannya tidak masuk kriteria PKWT, masih dapat diperjanjikan berdasarkan PKWT atas dasar jangka waktu. Penafsiran ini tentu tidak sejalan dengan Pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Sementara pengaturan PKWT dalam Pasal 65 ayat(7) dan Pasal 66 ayat(2) huruf b yang telah direviu oleh Mahkamah Konstitusi dianggap tidak memiliki
kekuatan hukum tetap dan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan menganalisis norma hukum baik dalam peraturan perundang-undangan melalui penelitian kepustakaan maupun teknik pendukung lainnya seperti wawancara. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan PKWT dalam peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan tafsir, PKWT yang diterapkan pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, dengan berbagai alasan pekerja menerima PKWT meskipun bertentangan dengan perundang-undangan, serta perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh masih lemah dan tidak memadai. Untuk itu maka Pemerintah harus segera merevisi Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenegakerjaan khususnya Pasal 56 ayat (2a) dan Pasal 59 ayat (2) yang menimbulkan inkonsistensi dan perbedaan tafsir dalam pengaturan PKWT. Selain itu Pemerintah juga harus mendorong pengusaha untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi beserta aturan pelaksanaannya agar pekerja/buruh PKWT mendapatkan perlindungan yang lebih atas terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Published
2016-07-01
Section
Articles