TANGGUNG JAWAB HUKUM PT. NATIONAL SAGO PRIMA (NSP) ATAS PENCEMARAN UDARA AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KEPULAUAN MERANTI RIAU
Abstract
PT. National Sago Prima (NSP) memiliki konsesi perkebunan sagu seluas 21.418 (dua puluh satu ribu empat ratus delapan belas) hektar di Kepulauan Meranti Riau. Pada akhir Januari 2014 sampai dengan awal Maret 2014 terjadi kebakaran hutan di perkebunan PT. NSP yang diduga sengaja dibakar guna pembukaan lahan, areal yang terbakar seluas 3.000 (tigaribu) hektar, yang mengakibatkan pencemaran udara oleh asap dan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Kejaksaan Negeri Bengkalis mengajukan tuntutan perkara kebakaran hutan dan lahan ini dalam tiga berkas perkara yaitu: Perkara Nomor: 547/Pid.Sus/2014/PN. Bls., Perkara Nomor: 548/Pid.Sus/2014/PN.Bls. dan Perkara Nomor: 548/Pid.Sus/2014/PN.Bls. PutusanPengadilan Negeri Bengkalis oleh banyak pihak dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan, bahkan pihak Kejaksaan Negeri Bengkalis menganggap banyak fakta hukum yang tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Penelitian dilandaskan pada Teori Keadilan Korektif dari Aristoteles dan Teori Tanggungjawab Hukum Hans Kelsen, metode penelitian hukum yuridis normatif yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan menggunakan pendekatan undang-undang. Permasalahan yang dikaji menyangkut: ketentuan hukum yang telah dilanggar oleh PT. NSP, kemungkinan adanya fakta hukum yang tidak dijadikan pertimbangan hukum oleh Majelis Hakim, adakah kelemahan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Fakta di persidangan menunjukkan bahwa PT. NSP telah melakukan pembakaran lahan, telah menghasilkan limbah B3 berupa olie bekas mesin generator dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana mestinya, pembakaran yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis telah merusak lahan gambut dengan volume 3.000.000 m3 sehingga akan menganggu keseimbangan ekosistem, untuk memfungsikan kembali faktor ekologis yang hilang dibutuhkan biaya sebesar Rp.1. 046.018.923.000,- (Satu Trilyun Empat Puluh Enam Milyar Delapan Belas Juta Sembilan Ratus Dua puluh Tiga Ribu Rupiah). Untuk mendapatkan putusan yang benar dan memihak lingkungan hidup seharusnya Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini bersertifikat lingkungan hidup. Mengingat ringannya putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim diharapkan agar Jaksa Penuntut Umum segera mengajukan kasasi, dimasa mendatang perlu dimunculkan gagasan memasukkan konsep strict liability dalam perkara pidana lingkungan yang berdampak kerusakan lingkungan hidup luas seperti ini.