TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGATURAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PADA UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS NOMOR 40 TAHUN 2007 DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 47 TAHUN 2012 DI INDONESIA SEBAGAI BAGIAN DARI ETIKA BISNIS

  • NUR INDAH ASTRIA SANGADJI Universitas Pancasila
Keywords: Corporate Social Responsibility (CSR), Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah

Abstract

Salah satu perdebatan hebat yang mengawali lahirnya konsep formal CSR Indonesia adalah tentang apakah CSR sebagai kewajiban (mandatory) atau kesukarelaan (voluntary) sebuah Perseroan. Kehadiran
rumusan UUPT No. 40/2007 dan PP No. 47/2012 diharapkan memperjelas konsep CSR, namun dengan kelemahan Pengaturan mekanisme penerapan CSR dalam Peraturan ini memperlihatkan bahwa
pemerintah tidak serius dalam mengatur CSR. Pengaturan mekanisme yang kurang jelas akan dapat membuka peluang atau celah bagi Perusahaan untuk menghindar dari kewajiban CSR. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian adalah bagaimana pengaturan mengenai kewajiban, penganggaran, pelaporan dan pengawasan CSR, bagaimana perbandingan penerapan CSR di Indonesia dengan Negara
berkembang, dan bagaimana pemikiran yang mendasari konsep CSR sebagai bagian dari Etika Bisnis. Teori yang digunakan adalah Etika Bisnis dan metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang
didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai kewajiban CSR yang terdapat pada kedua Peraturan ini merupakan tanggung jawab yang
bermakna liability namun pada kenyataannya CSR di Indonesia masih bermakna voluntary. Subyek hukum dalam kedua Peraturan ini adalah Perseroan yang bergerak dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam serta etika perusahaan yang ditambahkan dengan klausul “berdasarkan Undang-Undang” sehingga menimbulkan permasalahan terkait sanksi TJSL. Pada penganggaran juga belum dijelaskan secara tepat dimana menyerahkan sepenuhnya anggaran CSR/TJSL kepada internal perusahaan yaitu Dewan Komisaris dan RUPS. Selain itu ada problem regulasi yakni Permen BUMN dimana biaya CSR diambil dan diukur dari laba/keuntungan sehingga menciptakan ketidakadilan bagi perusahaan di luar BUMN. Pelaporan dan Pengawasan yang dipertanggungjawabkan kepada RUPS dapat menjadikan pemerintah tidak berfungsi secara langsung sebagai pengawas dan pengontrol kegiatan CSR. Perbandingan CSR di Indonesia dengan Negara berkembang memiliki perbedaan dimana CSR dipandang sebagai salah satu kewajiban hukum,
sedangkan di Negara berkembang disebabkan oleh tingginya tingkat kesadaran sosial dan lingkungan dimana Pemerintah memiliki Divisi khusus yang membidangi CSR seperti Departemen Perdagangan dan Perindustrian. Pemikiran yang mendasari konsep CSR yang dianggap bagian dari Etika Bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal tetapi juga kewajiban terhadap pihakpihak yang berkepentingan (stakeholders). Rekomendasi yang dapat diberikan adalah melakukan kajian dan evaluasi mengenai pengaturan CSR/TJSL, selain itu untuk mewujudkan CSR yang baik seharusnya juga didasarkan pada beyondcompliance dimana CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal driven).

Published
2016-07-01
Section
Articles