VIRAL SEBAGAI SARANA PEMBELAAN DIRI (Kajian Kemungkinan Penuntutan Pidana dalam “No Viral No Justice”)
Abstract
Belakangan ada kecenderungan orang memviralkan ketidakadilan yang
dialaminya. Hal tersebut dilatari pandangan “no viral no justice,” sehingga
diyakini setelah menjadikan viral terlebih dahulu maka korban baru akan
mendapatkan keadilan. Tetapi budaya membuat viral di media sosial rentan
dengan risika akan berhadapan dengan UU ITE, sekalipun memviralkan
peristiwa yang dialami juga sebagai pembalasan. Ketika seseorang
mengalami suatu perbuatan, perbuatan itu akan dapat memancingnya
melakukan balasan. Bila seseorang mendapat tekanan, maka secara alamiah
orang tersebut akan memberikan reaksi melawan tekanan tersebut, yang
lazimnya dengan kekuatan yang sama besar. Bagaimana bila tekanan yang
dialami seseorang memancing perbuatan pidana sebagai reaksinya? Apakah
pelakunya dapat dibebaskan/dilepaskan dari tanggung jawab dengan alasan
pembelaan diri? Dalam Hukum Pidana, dikenal adanya pembelaan terpaksa
(noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer
excess). Perdebatan noodweer atau noodweer excess sering dijumpai pada
pelaku tindak pidana terhadap nyawa (seperti pembunuhan/doodslag),
terhadap tubuh (seperti penganiayaan/mishandeling) ataupun terhadap harta
benda/bangunan (seperti pengrusakan: vernielen maupun beschaidigen).
Apakah mungkin noodweer atau noodweer excess ada dalam tindak pidana
berbasis teknologi informasi, seperti dalam fenomena “no viral no justice”?
Bagaimana penerapan noodweer atau noodweer excess dalam kasus konkrit?
Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, dilakukan
kajian sebagai penelitian hukum normatif, dengan pendekatan perundangundangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual, yang didasarkan
pada teori tentang perbuatan pidana dan tentang pertanggungjawaban
pidana. Kajian akan diperdalam dengan menelisik penerapannya dalam
putusan-putusan pengadilan dan proyeksinya pada saat berlakunya UU No. 1
Tahun 2023 sebagai KUHP Nasional nanti