KESESATAN BERPIKIR (FALLACY) DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PERSPEKTIF TEORI PARADIGMA THOMAS S. KUHN
Abstrak
Normal Science dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia ialah Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi, namun dalam penerapan hukumnya sering terjadinya anomaly dan melanggar asas legalitas, karena dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi institusi penegak hukum sering kali menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi yang tidak mempertimbangkan Pasal 14, karena pada Pasal 14 undang-undang tindak pidana korupsi menyatakan harus secara tegas dikatakan sebagai tindak pidana korupsi didalam undang-undang tersebut baru dapat diberlakukannya ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi, asas yang terkandung dalam undang-undang tindak pidana korupsi ialah lex specialis systematis, namun kerapkali hakim tidak mempertimbangkan Pasal 14 tersebut sehingga terjadinya fallacy dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Adapun tujuan penelitan, untuk menganalisis argumentasi hukum jaksa penuntut umum dalam memberikan dakwaan dan hakim dalam memutuskan perkara tersebut, agar dapat melihat dalam penerapan hukumnya apakah terdapat fallacy sehingga mengabaikan asas legalitas dan berakibatnya banyak anomaly, ditinjau dari perspektif teori paradigma Thomas S. Kuhn. Metode Penelitian yuridis normatif. Penegakan Hukum terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dibarengi dengan munculnya aturan tehnis dari masing-masing institusi penegak hukum. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memasuki tahap Anomaly dalam penegakan hukumnya, karena yang merupakan kerugian negara atau perekonomian negara sudah pasti tergolong tindak pidana korupsi, sepanjang dapat diperhitungkan kerugian negara atau perekonomian negara. Namun demikian, secara yuridis normatif terhadap Pasal 14 justru membatasi proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang sering kali diabaikan oleh penegak hukum, sehingga terjadinya fallacy dalam penerapan norma konkrit tersebut, karena seharusnya Pasal 14 dipertimbangkan.